Pengentasan Kemiskinan melalui Pemberdayaan Masyarakat

A. EVALUASI
Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) merupakan program pemerintah yang secara substansi berupaya dalam penanggulangan kemiskinan melalui konsep memberdayakan masyarakat dan pelaku pembangunan lokal lainnya, termasuk Pemerintah Daerah dan kelompok peduli setempat, sehingga dapat terbangun “gerakan kemandirian penanggulangan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan”, yang bertumpu pada nilai-nilai luhur dan prinsip-prinsip universal. (Dikutip dari : Buku Pedoman Umum P2KP-3, Edisi Oktober 2005).
Permasalahan kemiskinan di Indonesia sudah sangat mendesak untuk ditangani. Khususnya di wilayah perkotaan, salah satu ciri umum dari kondisi fisik masyarakat miskin adalah tidak memiliki akses ke prasarana dan sarana dasar lingkungan yang memadai, dengan kualitas perumahan dan permukiman yang jauh dibawah standar kelayakan, serta mata pencaharian yang tidak menentu. Disadari bahwa selama ini banyak pihak lebih melihat persoalan kemiskinan hanya pada tataran gejala-gejala yang tampak terlihat dari luar atau di tataran permukaan saja, yang mencakup multidimensi, baik dimensi politik, sosial, ekonomi, aset dan lain-lain. Dalam kehidupan sehari-hari dimensi-dimensi dari gejala-gejala kemiskinan tersebut muncul dalam berbagai bentuk, seperti antara lain :
  1. Dimensi Politik , sering muncul dalam bentuk tidak dimilikinya wadah organisasi yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat miskin, sehingga mereka benar-benar tersingkir dari proses pengambilan keputusan penting yang menyangkut diri mereka. Akibatnya, mereka juga tidak memiliki akses yang memadai ke berbagai sumber daya kunci yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan hidup mereka secara layak, termasuk akses informasi;
  2. Dimensi Sosial sering muncul dalam bentuk tidak terintegrasikannya warga miskin ke dalam institusi sosial yang ada,terinternalisasikannya budaya kemiskinan yang merusak kualitas manusia dan etos kerja mereka, serta pudarnya nilai-nilai kapital sosial;
  3. Dimensi Lingkungan sering muncul dalam bentuk sikap, perilaku, dan cara pandang yang tidak berorientasi pada pembangunan berkelanjutan sehingga cenderung memutuskan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang kurang menjaga kelestarian dan perlindungan lingkungan serta permukiman;
  4. Dimensi Ekonomi muncul dalam bentuk rendahnya penghasilan sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sampai batas yang layak; dan
  5. Dimensi Aset, ditandai dengan rendahnya kepemilikan masyarakat miskin ke berbagai hal yang mampu menjadi modal hidup mereka, termasuk aset kualitas sumberdaya manusia (human capital), peralatan kerja, modal dana, hunian atau perumahan, dan sebagainya.
Karakteristik kemiskinan seperti tersebut di atas dan krisis ekonomi yang terjadi telah menyadarkan semua pihak bahwa pendekatan dan cara yang dipilih dalam penanggulangan kemiskinan selama ini perlu diperbaiki, yaitu ke arah pengokohan kelembagaan masyarakat. Keberdayaan kelembagaan masyarakat ini dibutuhkan dalam rangka membangun organisasi masyarakat warga yang benar-benar mampu menjadi wadah perjuangan kaum miskin, yang mandiri dan berkelanjutan dalam menyuarakan aspirasi serta kebutuhan mereka dan mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik di tingkat lokal, baik aspek sosial, ekonomi maupun lingkungan, termasuk perumahan dan permukiman.
Penguatan kelembagaan masyarakat yang dimaksud terutama juga dititikberatkan pada upaya penguatan perannya sebagai motor penggerak dalam ‘melembagakan’ dan ‘membudayakan’ kembali nilai-nilai kemanusiaan serta kemasyarakatan (nilai-nilai dan prinsip-prinsip di P2KP), sebagai nilai-nilai utama yang melandasi aktivitas penanggulangan kemiskinan oleh masyarakat setempat. Melalui kelembagaan masyarakat tersebut diharapkan tidak ada lagi kelompok masyarakat yang masih terjebak pada lingkaran kemiskinan, yang pada gilirannya antara lain diharapkan juga dapat tercipta lingkungan kota dengan perumahan yang lebih layak huni di dalam permukiman yang lebih responsif, dan dengan sistem sosial masyarakat yang lebih mandiri melaksanakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Kepada kelembagaan masyarakat tersebut yang dibangun oleh dan untuk masyarakat, selanjutnya dipercaya mengelola dana abadi P2KP secara partisipatif, transparan, dan akuntabel. Dana tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membiayai kegiatan-kegiatan penanggulangan kemiskinan, yang diputuskan oleh masyarakat sendiri melalui rembug warga, baik dalam bentuk pinjaman bergulir maupun dana waqaf bagi stimulan atas keswadayaan masyarakat untuk kegiatan yang bermanfaat langsung bagi masyarakat, misalnya perbaikan prasarana serta sarana dasar perumahan dan permukiman.
Model tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi untuk penyelesaian persoalan kemiskinan yang bersifat multi dimensional dan struktural, khususnya yang terkait dengan dimensi-dimensi politik, sosial, dan ekonomi, serta dalam jangka panjang mampu menyediakan aset yang lebih baik bagi masyarakat miskin dalam meningkatkan pendapatannya, meningkatkan kualitas perumahan dan permukiman meraka maupun menyuarakan aspirasinya dalam proses pengambilan keputusan. Untuk mewujudkan hal-hal tersebut, maka dilakukan proses pemberdayaan masyarakat, yakni dengan kegiatan pendampingan intensif di tiap kelurahan sasaran. Melalui pendekatan kelembagaan masyarakat dan penyediaan dana bantuan langsung ke masyarakat kelurahan sasaran, P2KP cukup mampu mendorong dan memperkuat partisipasi serta kepedulian masyarakat setempat secara terorganisasi dalam penanggulangan kemiskinan. Artinya, Program penanggulangan kemiskinan berpotensial sebagai “gerakan masyarakat”, yakni; dari, oleh dan untuk masyarakat.
Implementasi P2KP memfokuskan pada pelaksanaan kebijakan, sosialisasi, ketaatan, dan sumber daya. Hal tersebut digunakan untuk mencapai tujuan dari implementasi P2KP diperkotaan. Kebijaksanaan secara umum yaitu menanggulangi persoalan kemiskinan struktural maupun yang diakibatkan oleh krisis ekonomi, pemerintah memandang perlu untuk memberikan bantuan kepada masyarakat miskin di perkotaan melalui Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Kebijaksanaan secara khusus memberi bantuan dalam bentuk dana hibah dan pinjaman yang disalurkan kepada kelompok swadaya masyarakat (KSM). Dana dimanfaatkan sebagai modal usaha produktif, pembangunan prasarana dan sarana dasar lingkungan, serta pengembangan sumber daya manusia. Dana untuk modal usaha produktif merupakan dana pinjaman bergulir yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat melalui wadah yang disebut Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). Hambatan yang mempengaruhi pelaksanaan P2KP adalah belum efektifnya peran pemerintah daerah, kemitraan masyarakat dan pemerintah daerah, dan belum terjadinya alih kelola P2KP ke Pemerintah kota/kab. Selain itu pelaksanaan kegiatan yang menekankan pada proses pembangunan yang partisipatif membutuhkan waktu yang cukup lama. Keterbatasan dana dan sumber daya manusia yang benar-benar terpanggil untuk bekerja dengan masyarakat juga turut menjadi hambatan
  1. B. KRITIKAN
Masyarakat miskin termasuk masyarakat miskin perkotaan selama ini belum terjangkau oleh lembaga keuangan formal. Padahal, banyak usaha produktif atau usaha mikro yang digeluti oleh orang-orang miskin yang potensial untuk dibiayai. Kalau usaha-usaha tersebut mendapatkan pembiayaan sekaligus bantuan teknis berupa pendampingan, tentu akan terbuka peluang untuk lebih berkembang, sehingga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat yang akhirnya bisa lepas dari jeratan kemiskinan.  Untuk itu, pemerintah dalam hal ini Bappenas dan Kementrian Pemukiman dan Pengembangan Wilayah, sejak tahun 2000, menggulirkan proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Dalam hal ini kaum miskin di perkotaan yang mempunyai usaha produktif, diberikan bantuan pembiayaan berupa dana bergulir, sekaligus diberikan pendampingan agar dana tersebut bisa dimanfaatkan secara optimal bagi pengembangan usahnya. Apabila dana tersebut bisa dimanfaatkan dengan baik, diharapkan tidak hanya mampu mengembangkan usaha mikro tersebut, tetapi juga mampu mengembalikan pinjaman itu sehingga bisa digulirkan atau dipinjamkan kembali kepada usaha mikro atau kaum miskin lain yang membutuhkan.
Proyek yang telah menjangkau hampir seluruh desa di Pulau Jawa, Sumatera, dan Bali ini mendapatkan dukungan pendanaan berupa pinjaman lunak dari Asean Development Bank (ADB). Proyek ini merupakan kelanjutan dari Proyek Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Jaring Pengaman Sosial (JPS), dalam rangka mengurangi tingkat kemiskinan pasca krisis ekonomi sejak pertengahan tahun 2007. Beberapa penyempurnaan telah dilakukan terhadap P2KP dibandingkan dengan beberapa proyek sejenis sebelumnya. Kalau pada proyek IDT dan JPS, pengelolaan dana dilakukan langsung oleh aparat desa/kelurahan, maka pengelolaan dana P2KP dilakukan sepenuhnya oleh Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang dibentuk di setiap desa/kelurahan. Peran aparat desa/kelurahan hanya terbatas pada tugas-tugas supporting, baik dalam membantu sosialisasi, pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat ((KSM), maupun dalam tugas-tugas administratif lainnya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kurang berhasilnya proyek P2KP, antara lain:
  1. Proyek P2KP dinilai kurang mendidik karena tidak adanya sanksi yang tegas bagi anggota KSM yang tidak mau mengembalikan pinjaman atau yang mengalami kemacetan. KSM juga tidak mewajibkan anggotanya untuk menabung, dimana tabungan itu sebetulnya bisa dijadikan salah satu jaminan atas pembayaran cicilan. Anggota hanya mengharapkan pinjaman sebagai haknya, tetapi tidak ada kewajiban untuk menabung.
  2. Pembentukan BKM yang dimaksudkan untuk mengurangi intervensi aparat pemerintah, baik pemerintah desa/kelurahan maupun kecamatan, dalam pengelolaan dana P2KP, ternyata tidak sepenuhnya bisa dilakukan. Intervensi aparat desa/kelurahan masih cukup dominan, antara lain dalam bentuk:
    1. Keterlibatan dalam pembentukan KSM termasuk pembentukan beberapa KSM fiktif yang justru dilakukan oleh aparat desa/kelurahan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
    2. Keterlibatan dalam pembentukan BKM, dimana BKM yang seharusnya murni bentukan masyarakat, dalam kenyataannya justru ditempati oleh “orangnya” kepala desa/kelurahan, sehingga dalam menjalankan tugasnya BKM selalu dalam kendali kepala desa/kelurahan.
    3. Pembentukan kelompok yang terkesan dipaksanakan. Idealnya, pembentukan KSM berdasarkan kebutuhan masyarakat itu sendiri, dimana setelah KSM mampu berkembang yang disertai pembinaan, baru dilanjutkan dengan bantuan finansial. Namun yang terjadi dengan P2KP justru pembentukan KSM hanya sebagai syarat untuk mendapatkan pinjaman. Akibatnya, masyarakat hanya mau berkelompok sebelum pinjaman dicairkan, tetapi setelah pinjaman diterima mereka meninggalkan kelompoknya dan tak pernah lagi menghadiri pertemuan-pertemuan di KSM.
    4. Salah satu kunci keberhasilan dalam pendekatan kelompok adalah peranan tenaga pendamping. Tugas tenaga pendamping yang seharusnya menjadi ujung tombak keberhasilan melalui bantuan manajemen dan bantuan teknis, justru tidak mampu menjalankan fungsinya sesuai harapan. Banyak tenaga pendamping P2KP yang disebut fasilitator kelurahan (Faskel) tidak memiliki pengetahuan yang memadai baik menyangkut kondisi masyarakat binaannya maupun berbagai kemampuan teknis lainnya, termasuk lemahnya komitmen Faskel terhadap upaya pemberdayaan masyarakat.
    5. Faktor lain yang cukup menentukan yaitu peranan kepemimpinan, baik di tingkat KSM maupun BKM. Kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang demokratis, jujur dan berwibawa, sehingga mampu memupuk kebersamaan, kegotong royongan dan soliditas anggotanya. Kepemimpinan yang otoriter cenderung manipulatif sehingga sulit dikontrol oleh anggotanya. Beberapa KSM mengalami kegagalan karena kepemimpinan yang tidak demokratis yang berdampak pada hilangnya mekanisme pengawasan internal. Budaya kontrol di antara sesama anggota termasuk terhadap pimpinannya, tidak bisa berjalan dengan baik, sehingga membuka peluang bagi pengurus untuk melakukan tindakan-tindakan manipulatif.
    6. Tidak berjalannya prinsip tanggung renteng. Banyak anggota KSM yang hanya bisa kompak ketika dana belum dicairkan, tetapi mereka cenderung berjalan sendiri-sendiri setelah kredit diterima. Akibatnya, jangankan bertanggung jawab atas kewajiban anggota lainnya, menghadiri rapat saja sudah tidak mau. Hal tersebut terjadi karena lemahnya ikatan antar-kelompok yang cenderung hanya bersifat jangka pendek, bukan untuk tujuan peningkatan kesejahteraan jangka panjang. Keberhasilan sistem tanggung renteng dipengaruhi oleh tingkat kebersamaan dan kekompakan anggota, dimana kebersamaan seharusnya tidak hanya pada saat pengajuan kredit yang dilakukan secara kolektif, tetapi juga setelah kredit itu diterima.
    7. Kurangnya profesionalisme anggota BKM karena umumnya tidak mempunyai pengetahuan dan pengalaman dalam pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan keuangan mikro (microfinance). Mereka juga tidak mendapat pelatihan yang memadai sebagai bekal pengelola BKM. Kondisi yang terjadi pada BKM juga dialami oleh KSM sebagai unit yang berhadapan langsung dengan anggotanya.
  1. C. REKOMENDASI
Rekomendasi untuk penyempurnaan  setelah memperhatikan berbagai kelemahan dari pola pembiayaan usaha mikro dalam rangka pengentasan kemiskinanmelalui Proyek P2KP, ada beberapa rekomendasi yang perlu dijadikan perhatian, agar tujuan bisa tercapai seperti yang diharapkan. Beberapa rekomendasi itu antara lain:
  1. Sebelum proyek dilaksanakan, perlu dilakukan proses sosialisasi secara intensif dengan melibatkan masyarakat sebanyak mungkin, melalui berbagai kelembagaan yang ada seperti Rukun Tetangga, Rukun Warga, kelurahan/desa, dan kelembagaan sosial lainnya. Melalui sosialisasi dan penjelasan dimaksudkan agar lebih banyak masyarakat yang mengetahui maksud dan tujuan program tersebut termasuk berbagai hak dan kewajiban dari masyarakat yang akan menjadi sasaran dari proyek tersebut. Dalam pelaksanaan Proyek P2KP, proses sosialisasi itu dirasakan sangat kurang, sehingga yang mengetahuinya hanya sebagian masyarakat khususnya para elite desa/kelurahan atau mereka yang mempunyai akses terhadap pemerintah desa/kelurahan.  Karena informasi yang tidak merata, maka yang terjadi:
    1. Program ini tidak mampu menjangkau sasaran yang telah ditetapkan yaitu mereka yang benar-benar memenuhi kriteria yang telah ditetapkan.
    2. Banyak anggota KSM yang menganggap dana P2KP sebagai dana hibah dari pemerintah yang tidak perlu dikembalikan.
    3. Banyak anggota KSM yang tidak mempunyai usaha produktif sebagaimana disyaratkan sehingga penggunaan dana itu lebih kepada tujuan konsumtif, bukan produktif.
    4. Dalam melakukan pembiayaan terhadap usaha mikro perlu melibatkan lembaga keuangan profesional, sehingga pengelolaan dana tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip pembiayaan yang sehat yaitu prinsip ekonomi pasar dengan tingkat bunga pasar. Pemerintah seharusnya tidak terlibat langsung dalam penyaluran pembiayaan tetapi lebih sebagai regulator, fasilitator, supporting, dan administratif. Keterlibatan pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembagunan Nasional (Bappernas) dan Kementerian Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) dalam Proyek P2KP tampak terlalu jauh, karena tidak lagi hanya terbatas sebagai regulator dan fasilitator tetapi juga sebagai pelaku dan pelaksana dari pembiayaan tersebut. Dalam kondisi seperti ini maka peran pemerintah bukan sebagai pendukung dan mitra pihak swasta (lembaga keuangan) tetapi cenderung menjadi pesaing yang bisa menyebabkan merusak pasar yang telah dibina oleh lembaga keuangan mikro yang ada di masyarakat.
    5. Dalam melakukan pembiayaan terhadap usaha mikro, peran pembinaan (technical assistance) perlu lebih ditonjolkan bersamaan dengan fungsi pembiayaan (financial assistance). Usaha mikro dan rakyat miskin tidak cukup hanya diberi pembiayaan seperti halnya usaha-usaha besar, tetapi juga mutlak harus didampingi dengan pembinaan dan jasa manajemen. Bantuan manajemen itu bisa berupa pelatihan secara rutin sesuai kebutuhan baik anggota KSM, pengurus KSM, dan BKM, selain juga berbagai jenis pendampingan baik dalam pengelolaan, pemasaran, adminsitrasi, teknologi dan berbagai pendampingan lainnya.
Dalam Proyek P2KP, fungsi pembinaan ini masih sangat minim. Pembinaan yang dilakukan oleh fasilitator kelurahan (Faskel) hanya menitikberatkan dalam pembuatan proposal sebagai syarat pengajuan pinjaman. Ketika dana tersebut telah dicairkan dan faskel telah mendapatkan fee sebagaimana ketentuan, dengan sendirinya fungsi pembinaan itu juga berakhir.
Para Pengurus BKM juga tidak mendapatkan pelatihan yang memadai sehingga memungkinkan mereka bisa mengelola BKM dengan lebih baik. Malahan pengurus KSM yang setiap hari berhubungan langsung dengan anggotanya sama sekali tidak mendapatkan pelatihan.
Seharusnya pelatihan ini sudah dilakukan sebelum dana disalurkan, sehingga masing-masing pihak baik KSM maupun BKM tahu persis apa yang harus dilakukan.
Berbagai proyek yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan mempunyai tujuan yang sangat mulia, termasuk Proyek P2KP. Pengalaman dari proyek P2KP merupakan pelajaran yang sangat berharga bahwa semulia apapun tujuan yang akan dicapai sangat ditentukan oleh kesungguhan para pelaksananya. Kurang berhasilnya pelaksanaan Proyek P2KP karena masih kurangnya kesungguhan para pihak yang terlibat dalam program ini, selain dari segi sistemnya yang juga perlu disempurnakan.

0 Response to "Pengentasan Kemiskinan melalui Pemberdayaan Masyarakat"

Post a Comment